Menjelajah Penang: Seni, Sejarah, Kuliner & Pantai

Having fun at Batu Ferringhi beach, Penang

“Melancong atau berobat?” begitu sapaan khas warga Penang ke kami setelah tahu kami dari Indonesia. Penang, pulau kecil di sebelah barat semenanjung Malaysia, yang bisa dicapai 3 jam naik pesawat dari Surabaya ini memang tujuan populer untuk berobat bagi warga. Konon, pelayanan di beberapa pilihan rumah sakit di Penang lebih bagus dan biayanya lebih murah daripada di Indonesia.

Tapi kami ke Penang untuk jalan-jalan saja. Sebagai tujuan wisata, Penang menyediakan paket komplet. Ada wisata kota untuk belajar sejarah dan menikmati karya seni, ada wisata kuliner di setiap sudutnya, dan ada wisata pantai yang bisa dicapai kurang dari sejam dari tengah kota.

Thanks to maskapai berbiaya rendah, Air Asia, yang mempunyai penerbangan langsung Surabaya-Penang, liburan long wiken kali ini kami tidak perlu keluar banyak uang. Kami berempat ‘hanya’ keluar uang 5,5 jutaan termasuk tiket pesawat, akomodasi, taksi, bis, tiket masuk museum dan makan-makan.

Tiba di Penang Jumat siang, saya dibuat kecewa dengan pelayanan Tune Hotels. Malamnya kami menghibur diri dengan mengunjungi pusat kuliner di Gurney Drive (persiaran Gurney). Pusat jajanan yang dekat dengan Gurney Plaza ini menawarkan aneka makanan khas Penang. Masakan China, Melayu, India, semua ada, dan harganya tidak terlalu mahal. Makanan satu porsi sekitar RM 4-7, atau setara dengan Rp 15.000 – 25.000. Siapa yang pengin mencicipi asam laksa, nasi kandar, rojak, pasembur dan apom? Tulisan saya tentang petualangan kami mencicipi kuliner di Penang bisa dibaca di sini.

Gara-gara Tune Hotels, itinerary yang sudah saya susun jadi berantakan. Karena urung jalan-jalan berburu street art di kota Jumat sore, saya harus membatalkan niat berkunjung ke Penang Hill atau Bukit Bendera. Mending waktunya kami pakai untuk berkeliling kota saja.

Museum Made In Penang
Pagi kami awali dengan mengunjungi museum interaktif yang baru saja dibuka tahun lalu. Museum Made In Penang ini hanya beberapa langkah dari perhentian bus gratis halte no.1 di Pangkalan Weld, Georgetown. Di lantai bawah, kami disuguhi diorama mini kehidupan khas warga Penang. Juga ada diorama besar yang menggambarkan pelabuhan Penang ketika masih dikuasai Inggris, termasuk gedung bersejarah Behn Meyer yang akhirnya dijadikan museum ini.  

Di lantai 2, pengunjung bisa lebih banyak berinteraksi dengan display lukisan 3D yang khas Penang. Konseptor museum ini tahu benar kalau sekarang turis ingin berfoto dan berbagi di media sosial. Bagian terakhir, kami disuguhi film pendek tentang Penang dalam bahasa Mandarin dan bahasa Inggris.


Penang Street Art
Belum sah ke Georgetown kalau belum ‘berburu’ street art-nya yang tersebar ke sudut-sudut dan gang-gang kecil. Awalnya, pemkot Penang mengundang beberapa seniman, antara lain Ernest Zacharevic dan Louis Gan dalam satu festival seni. Hasilnya, sampai sekarang berburu street art ini menjadi salah satu daya tarik Penang. Di antara tembok-tembok tua yang tak terurus, lumutan, dengan batu bata yang terekspos, kita bisa menikmati karya mural para seniman yang kadang mengundang senyum.

Musuh dari acara berburu street art ini adalah teriknya matahari Penang. Di siang hari, panasnya luar biasa. Seperti Surabaya, kota ini tidak cocok untuk jalan-jalan di siang hari bolong, ditambah dengan trotoar yang kadang muncul kadang menghilang. Beberapa turis yang berpapasan dengan kami membawa topi lebar dan payung. Ada juga yang jalan-jalan dengan menyewa sepeda. Duh, niat bener.

Saya sudah mengincar beberapa street art yang menarik, dengan mengunduh peta dari sini. Sayangnya kami cuma bisa menemukan beberapa yang berdekatan di Lebuh Chulia: Brother & Sister On A Swing dan Children Playing Basketball. Dari museum, kami berjalan dua blok melewati halte no. 1. Itu pun rasanya sudah mau pingsan saking panasnya. Big A sudah mau nangis dan Si Ayah juga mulai cranky. Untungnya di dekat situ ada kafe yang menjual minuman dingin dan es potong. Setelah berangsur-angsur pulih dari kepanasan, kami bisa jalan kaki lagi dua blok mencari tempat makan siang, masih di Lebuh Chulia.

Mural yang lain kami lihat tanpa sengaja ketika berkeliling kota naik bis gratis 🙂 Berburu street art ini memang sebaiknya dilakukan pagi atau sore hari. Pilih penginapan yang dekat dengan salah satu street art, misalnya di Lebuh Armenian atau Lebuh Ah Quee.


Pantai Batu Ferringhi
Sejak cek out dari Tune Hotels di pagi hari , The Precils sudah puluhan kali menanyakan, “When are we going to the beach?” Mereka memang senang sekali dengan pantai, apalagi setelah diberitahu akan menginap di hotel (beneran) di tepi pantai.

Setelah menuntaskan penasaran (The Emak) melihat street art, kami kembali naik bis gratis dan berhenti di halte no. 11 dekat dengan Tune untuk mengambil tas kami yang dititipkan (dengan membayar RM2 setiap tas). Satu blok dari Tune ada halte untuk naik bis no. 101 menuju pantai Batu Ferringhi. Berempat, kami cukup membayar RM 8,10. Lama perjalanan hampir satu jam karena cukup macet keluar kota George Town. Setelah menyusuri tepi pantai, jalanan kembali lancar. Sebelum Batu Ferringhi, kami melewati kawasan pantai Tanjong Bungah, yang bisa menjadi alternatif untuk wisata pantai. 

The Precils tambah semangat ketika melihat hotel-hotel di sepanjang bibir pantai. Kami turun tepat di halte depan hotel Holiday Inn.

Pantai Batu Ferringhi cukup bersih dan nyaman sebagai tempat bermain-main sambil menunggu matahari terbenam. Meskipun kami datang saat libur Paskah, pantainya tidak terlalu ramai. Saya bisa menemukan spot nyaman untuk menggelar sarung pantai, leyeh-leyeh sambil mengawasi Precils yang membuat istana pasir dan akhirnya nyemplung ke laut. Ombaknya tidak terlalu besar, sehingga tidak perlu pengawasan khusus. Yang senang berpetualang, bisa mencoba parasailing, sewa speedboat atau banana boat. Saya sih cukup melihat-lihat saja.

Anak-anak senang ketemu pantai, Si Ayah senang dapat foto sunset yang bagus. Dan saya senang karena semua senang 😀 Memang itu kan tujuan liburan?

Kami meninggalkan Penang esok harinya dengan taksi eksekutif warna biru, kapok naik limo :p. Sekali lagi kami melewati jalan-jalan di kota George Town, melihat kesibukan warga Penang dan gedung-gedung tua yang memang lebih nyaman dinikmati dari dalam mobil berpendingin udara.

~ The Emak

Baca juga:
Penang With Kids: Itinerary & Budget
Review Tune Hotels Downtown Penang  
Review Holiday Inn Resort Penang
Mencicipi Kuliner Penang 
Made In Penang: Seru-Seruan di Museum Interaktif