Orang Utan Trip With Kids: Itinerary & Budget

Tom, penguasa Camp Leakey

Saya sudah bercita-cita mengunjungi Tanjung Puting National Park sejak lama, ketika pesawat ke Pangkalan Bun masih pakai baling-baling dan hanya ada dari bandara Semarang. Niatan saya menguat ketika mengunjungi Singapore Zoo dua tahun lalu. Di sana, orang utan kita dijadikan maskot dan diperlakukan istimewa. Sementara di sini kadang saya menemukan orang-orang yang menjadikan orang utan sebagai bahan olok-olok dengan teman. Waktu itu saya berjanji ke Little A untuk membawanya mengunjungi orang utan di habitat aslinya. “Their real home is in Indonesia?” tanya Little A. Yes!

Alhamdulillah trip mengunjungi orang utan ini bisa terwujud tahun ini ketika ada liburan paskah. Kami memesan tur 3 hari 2 malam. Di tulisan ini saya akan sharing rangkuman itinerary dan budgetnya dulu. Tentang klotok dan taman nasional Tanjung Puting akan saya tulis tersendiri. 

Bisa nggak sih mengunjungi orang utan di habitat aslinya bersama anak-anak? Bisa banget.

Day 1
Pesawat kami berangkat jam enam pagi dari Surabaya. Cuma diperlukan waktu 55 menit untuk terbang menuju bandara Iskandar di Pangkalan Bun. Selain dari Surabaya, Pangkalan Bun (PKN) bisa dicapai dari Jakarta (1 jam 15 menit), Solo dan Semarang. Maskapai yang melayani rute ini adalah Trigana Air dan Kalstar.

Keluar dari bandara, kami disambut guide yang mengantar kami ke pelabuhan Kumai, tempat klotok parkir. Perjalanan dari bandara Iskandar ke Kumai sekitar 30 menit. Setelah beres-beres sebentar dan berkenalan dengan kru klotok (river boat), kapal berangkat dari Kumai jam 9 pagi. Klotok berjalan pelan menyusuri sungai Sekonyer yang menjadi batas luar dari Taman Nasional Tanjung Puting. Di kiri kanan sungai kami melihat pohon-pohon Nipah yang daunnya digunakan sebagai atap rumah oleh penduduk lokal. Daun muda Nipah juga menjadi makanan orang utan.

Setelah tiga jam, klotok ditambatkan untuk istirahat dan makan siang. Jangan khawatir, makan siang sudah disiapkan oleh tukang masak yang ikut sebagai kru klotok. Kami tinggal makan saja. Manja banget ya orang Indonesia? Hehe.

Jam dua siang, kami melanjutkan perjalanan ke Tanjung Harapan. Dari tempat kami parkir klotok, cuma perlu waktu setengah jam. Dari dermaga, kami perlu berjalan kurang lebih setengah jam (1 km) ke tempat pemberian makan orang utan (feeding platform). Jalan setapaknya mulai dari tanah berpasir sampai tanah gambut yang becek dengan akar pohon yang menonjol. Ya namanya juga hutan :p Little A (6 tahun) kuat jalan sendiri. Untuk anak balita mungkin perlu digendong atau jalan pelan-pelan. Jadwal pemberian makan di Tanjung Harapan adalah jam tiga sore.

Sekitar jam tiga sore, petugas meletakkan dua karung buah-buahan dan satu baskom besar susu di feeding platform. Kami para turis (lebih banyak bulenya daripada orang Indonesia) menunggu kedatangan orang utan dengan harap-harap cemas, semua siap dengan gadget di tangan 😀

Kami termasuk beruntung karena bisa bertemu dengan Gundul, orang utan penguasa Tanjung Harapan. Saat musim buah begini, tidak banyak orang utan yang datang ke tempat pemberian makan karena mereka sudah cukup kenyang dengan buah-buahan di alam liar. Selain Gundul, ada beberapa orang utan dan bayi mereka yang ikut nimbrung minum susu, tentu dengan seizin si penguasa.

Sejam kemudian kami kembali naik ke kelotok dan mulai berburu Bekantan. Kalian ingat maskot Dufan? Nah, seperti itulah bekantan (Proboscis Monkey), monyet yang hidungnya panjang, yang merupakan endemik di Tanjung Puting. Kami menemukan banyak bekantan yang nongkrong di pucuk pohon, menunggu matahari terbenam. 

Makan malam alias candle lit dinner disajikan pukul tujuh. Guide kami mencarikan tempat berlabuh yang banyak kunang-kunangnya. Klotok bagian atas disulap menjadi tempat tidur, lengkap dengan kelambu untuk menangkal nyamuk dan serangga. Sayang sekali di langit tidak terlihat bintang karena mendung. Kami tidur ditemani suara-suara binatang malam.

Jalur trekking menuju Tanjung Harapan
Gundul, penguasa Tanjung Harapan

Day 2
Kami bangun disambut oleh suara-suara burung yang bersahutan. Sarapan disajikan jam 6.30. Menunya roti panggang dengan macam-macam olesan dan banana pancake. Yummy. Sambil sarapan, klotok tetap berjalan karena kami tidak ingin terlambat ke Pondok Tanggui. Jadwal pemberian makan di Pondok Tanggui adalah jam sembilan pagi.

Sekitar dua jam kemudian kami sampai di dermaga Pondok Tanggui. Trek menuju feeding platform juga sekitar 1 km, dapat ditempuh dengan jalan santai kurang lebih setengah jam. Belum sampai ke tempat pemberian makan, kami sudah melihat orang utan yang leyeh-leyeh di pohon bersama bayinya: Ricak dan Robby. Anak orang utan diberi nama sesuai huruf awal ibunya. 

Ternyata tidak ada orang utan yang datang di feeding platform Pondok Tanggui. Kami dan turis lainnya menunggu sampai satu jam, tidak ada seorang pun, eh, seekor pun yang datang. Yah gimana lagi, mungkin mereka sudah tercukupi kebutuhannya di dalam hutan. Akhirnya kami trekking untuk melihat vegetasi yang ada di sekitar hutan Pondok Tanggui. 

Dari Pondok Tanggui kami melanjutkan ke Camp Leakey, sekitar dua jam perjalanan. Kami makan siang di jalan, masih dengan menu ikan segar yang baru saja dimasak. Jadwal pemberian makan di Camp Leakey adalah jam dua siang. 

Trekking dari dermaga Camp Leakey menuju feeding platform cukup jauh, dua kali lipat dari camp sebelumnya. Kami butuh waktu 45 menit berjalan dengan kecepatan sedang. 

Hari ini kami beruntung bisa bertemu dengan Tom, alpha male di Camp Leakey. Penguasa hutan ini umurnya 35 tahun dan punya kekuatan delapan orang dewasa. Jadi memang aturannya kita tidak boleh dekat-dekat dengan orang utan, apalagi mengajak selfie. Ingat, ini habitat asli mereka, bukan kebun binatang. Setelah bertemu Tom, kami sempatkan singgah di information centre untuk melihat foto-foto dan display pengetahuan tentang orang utan. Tahu nggak kalau DNA orang utan 97% sama dengan DNA manusia? 🙂

Di sebelah information centre adalah rumah Dr Birute Galdikas yang pertama kali meneliti orang utan di Tanjung Puting sejak tahun 1971.

Jam empat sore kami pergi dari Camp Leakey. Pak Pi’i, guide kami menawarkan trekking malam untuk melihat binatang-binatang nocturnal di Pondok Ambung, tapi kami sudah terlalu capek dan anak-anak juga tidak mau. Hahaha, turis malas :p 

Sebagai gantinya, kami bisa melihat gerhana bulan dari deck klotok dan makan malam bersama ribuan bintang yang terlihat benderang di langit. Karena kecanggihan kamera kami tidak bisa mengabadikan keindahan bulan dan bintang-bintang di malam hari, semuanya kami rekam baik-baik dalam ingatan. Sambil nyanyi lagunya Ed Sheeran ‘… kiss me under the light of a thousand stars…’

Keluarga precils di Camp Leakey

Day 3
Hari ini kami sudah harus balik lagi ke kota, meninggalkan sungai dan hutan yang tenang dan damai. Sarapan dihidangkan jam tujuh. Kemudian jam sembilan kami berangkat menuju Sekonyer Village untuk berjalan-jalan dan melihat suasana desa di tepi sungai Sekonyer ini. Dulu, penduduk ini tinggal di dalam taman nasional, tapi kemudian dipindah ke sini dan beranak pinak.
 

Sambil berjalan kembali ke pelabuhan Kumai, kami makan siang awal, sekitar jam sebelas. Jam dua belas siang kami sudah sampai di Kumai. Setelah berpamitan dengan kru klotok, kami diantar ke bandara dan bisa langsung cek in menuju Surabaya.
 
Sebenarnya ada itinerary untuk 2 hari 1 malam yang bisa dilakukan di akhir pekan. Tapi itinerary 2D/1N ini cukup padat dan melelahkan. Di hari pertama (pagi hari) kita diantar langsung menuju Camp Leakey, camp yang paling jauh dari pelabuhan Kumai. Perjalanan bisa sampai enam jam. Baru di hari kedua, klotok berbalik arah dan singgah di Pondok Tanggui dan Tanjung Harapan, sekalian kembali ke pelabuhan Kumai.

Klotok alias River Boat yang kami sewa

BUDGET
Saya memesan tur ini ke Kak Indra dari @bpborneo. Tarif tur sudah all in termasuk transfer dari bandara ke pelabuhan Kumai, sewa klotok + bahan bakar, gaji kru (kapten, cook, asisten), guide, tiket masuk taman nasional, tiket kamera, biaya parkir klotok, makan 7 kali, camilan beserta teh kopi soft drink. Kami tinggal beli tiket pesawat (saya beli via Traveloka) dan bawa badan saja.

Tiket pesawat Trigana Air SUB – PKN pp       4x 1.150.000 = IDR 4.600.000
Tour all in Adult                                         2x 1.750.000 = IDR 3.500.000
Tour all in Children                                     2x 1.500.000 = IDR 3.000.000

TOTAL (4 orang ) = IDR 11.100.000

Pengeluaran lain (opsional) untuk membeli suvenir dan tip kru (kalau mau memberi).

Sebelum memutuskan ngetrip dengan Backpacker Borneo, saya sudah cek toko sebelah, dan memang Kak Indra yang tarifnya paling terjangkau buat kami. Satu kapal klotok bisa eksklusif untuk keluarga kami saja, empat orang. Tentu kalau ngetrip dengan lebih banyak orang, jatuhnya akan lebih murah per-orangnya. Klotoknya juga akan dapat yang lebih besar. Tapi rata-rata fasilitasnya sama, hanya furniture dan dekorasinya saja yang berbeda. Harga yang lebih mahal biasanya dapat kapal yang lebih baru dengan interior yang lebih bagus.

Sebelum memutuskan ngetrip dengan siapa, coba cek dulu beberapa operator tur yang aktif di sosial media ini:
1) Tukang Jalan
2) Kakaban Trip
3) Ibu Penyu

Kalau ingin naik klotok yang lebih fancy, bisa pesan klotok langganan emak-emak Ostrali ini. Tapi tarifnya dolar 😀 http://www.borneotour.org

Atau kalau nggak sanggup tidur di kapal dan nggak bisa hidup tanpa AC dan mandi air panas, bisa menginap di hotel satu-satunya di sana. Cek langsung di http://rimbaecolodge.com 

Saya sendiri memilih Kak Indra yang putera Borneo asli. Cek blognya di sini, dan website turnya di sini.

Tur mengunjungi orang utan di habitat aslinya ini sangat menyenangkan karena perjalanannya santai. Bagi anak-anak, ini pengalaman istimewa yang akan mereka kenang dan bisa mereka ceritakan ke teman-temannya. Bisa jalan-jalan di hutan, tidur di kapal, mandi dengan air sungai, melihat bintang, melihat orang utan, bekantan, monyet, lutung, gibon, ratusan kupu-kupu di rumahnya sendiri. Pengalaman seperti ini tidak bisa mereka dapatkan di kebun binatang dalam kota.

~ The Emak

Baca juga: 

Menyusuri Sungai Sekonyer dengan Klotok